[Book Review] Bukan Pasar Malam

17.36

Sumber Gambar: Wikipedia

Judul: Bukan Pasar Malam
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Jumlah Halaman: 112
ISBN: 978-979-3820-03-3

Mencintai sebuah Tanah Air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati…” – Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4

Wujud paling nyata dari cinta anak negeri terhadap Tanah Airnya ini, bisa pembaca rasakan sendiri dari tindakan tokoh Ayah dalam roman Bukan Pasar Malam. Kiprah sang Ayah bermula saat beliau tengah menjabat sebagai pengawas sekolah angkatan Belanda. Kedekatannya dengan Belanda tak membuat sang Ayah berjarak dari bangsanya. Beliau justru turut serta memimpin pemenrintahan gerilya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan di tengah kesibukannya sebagai agen ganda, beliau tetap menyempatkan diri membuka kembali sekolah angkatan Belanda yang sempat mendapat kecaman dari penduduk setempat. Baginya, pembukaan sekolah ini, sekalipun atas ongkos pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga (bangsa Indonesia) yang mengecap hasilnya. (Hal 52)
Kesetiaan sang Ayah akan tanah kelahirannya pun sempat mengalami ujian. Pasca kemerdekaan, beliau ditawari kesempatan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun beliau menolak mentah-mentah tawaran tersebut, lantaran sang Ayah menilai perwakilan rakyat hanyalah panggung sandiwara dan anggotanya tak lebih dari sekumpulan badut. “Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.” (Hal 65)
Sang Ayah lebih memilih mencurahkan cintanya dalam kesahajaan hidup sebagai seorang guru. Beliau percaya bahwa profesi ini akan mampu membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme. (Hal  88)
Kegetiran yang beliau alami saat menjadi guru, yang sekalipun dianggap Bapak oleh rakyat, tetapi nasibnya sangatlah mengecewakan (Hal 55), tak membuat aliran semangat terhadap pengabdiannya lantas surut. Selama tigapuluh tahun beliau mengayuh sepeda menempuh jarak limabelas hingga duapuluh kilometer untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang guru. Bahkan ketika TBC menyergap dan penghasilannya sebagai guru tak mampu merawat, apalagi menyembuhkan dirinya, sang Ayah tetap mengasihi negeri ini. Menjelang ajal menjemput, beliau sempat bertutur “Tapi aku rela jadi nasionalis. Tapi aku rela jadi kurban (kebobrokan negara) semua ini.” (Hal 88)
Curahan kasih yang begitu bertubi-tubi ini dipaparkan oleh Almarhum Pramoedya dengan bahasa yang ringan melalui sudut pandang Aku, anak tertua sang Ayah, dalam suatu perjalanan mudik untuk menjenguk ayahanda yang tengah terbaring sakit.
Kepekaan pancaindra penulis, yang kemudian disandingkan dengan kemampuannya membangun metafora dari apa yang telah ditangkap segenap indra dan pengetahuannya akan sejarah, mengajak pembaca untuk turut serta menyertai tokoh Aku dalam perjalanan yang sarat kenangan dan penyesalan ini lantaran sikap Aku terhadap Ayahanda sebelumnya.
Saya mendapati punggung saya seketika berada pada posisi tegak seolah tengah duduk di kursi kereta ekonomi -- yang pada umumnya kaku, berbusa tipis dengan sandaran sembilanpuluh derajat. Sementara wajah saya bergerak mendekati jendela rumah ketika membaca awal paragraf bab kedua buku ini. Saat itu kaca jendela bagaikan layar pertunjukan yang tengah menayangkan setiap pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan Aku dan kegetiran yang tengah ia rasakan dalam perjalanan tersebut.
“Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundakan tanah merah itu?” (Hal 12)
“Kuhisap sebatang rokok. Dan dingin pagi serta dingin angin pun tiada terasa betul kini. Sawah yang tandus dan yang hampir masanya dipaneni silih berganti berkejar-kejaran. Dan di sawah-sawah itu dahulu, kadang kapal-kapal capung Belanda melempari petani dengan granat-tangan. Adakalanya juga capung itu mendarat di lapangan tandus dan mencuri kambing penduduk. Ya, semua itu teringat kembali kini. Dan di rumput-rumput itu pula sebagian dari kawan-kawan yang mempertahankan garis jalan keretaapi dulu menggelepak gugur, dan darahnya menyirami rumput yang menghijau selalu itu.” (Hal 13)
Saya bisa merasakan kekosongan yang seketika singgah dalam rongga dada ketika membaca kedua paragraf tersebut dan hampir setiap paragraf dalam buku ini. Roman yang begitu tipis, namun begitu tajam dan menyayat hati. Karena pada akhirnya -- setelah tiga kali membaca buku ini -- yang saya dapati tak lain adalah kekerdilan dan pergumulan batin tentang sikap moral saya selama ini. Sikap moral seorang anak dan warga negara yang terlalu sibuk membangun masa depan, hingga lupa pada kedua orang tua yang tengah menua serta Tanah Air yang sesungguhnya masih belia dan butuh banyak uluran pengayoman. Saat mereka dianggap menghambat dam meresahkan diri, kata umpatan dan keluhan pun tanpa sangsi dilontarkan.
Oleh karena itu, Bukan Pasar Malam sangat saya rekomendasikan bagi setiap sosok anak dan Warga Negara Indonesia: tua maupun muda, miskin ataupun kaya, tengah dilanda apatisme ataupun romansa, dan terutama bagi mereka yang sehat walafiat. Karena, seperti yang dipaparkan oleh Almarhum Pramoedya dalam buku yang sama, manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya (Hal 48).
Dan apa yang telah kita semua perbuat dengan kebebasan yang tengah dalam genggaman ini: kepada orang tua yang telah membesarkan kita tanpa pamrih dan bagi negeri tempat kita lahir, tumbuh, dan mengais rezeki?

SELAMAT MEMBACA!



Biodata Pengulas: 
Maria Widjaja | Pemilik blog practicelifeinfiction.wordpress.com | Bisa dihubungi melalui akun media sosial: vmwidjaja (twitter), vmwidjaja (instagram).


You Might Also Like

0 comments

Kami selalu terbuka untuk segala kritik dan saran dari para Sahabat Buku sekalian, silahkan mengisi kolom komentar untuk menumpahkannya. Terima kasih.

Like us on Facebook