Pages

▼
Klub Buku Jakarta
  • Sumber Gambar: Wikipedia

    Judul: Bukan Pasar Malam
    Penulis: Pramoedya Ananta Toer
    Penerbit: Lentera Dipantara
    Jumlah Halaman: 112
    ISBN: 978-979-3820-03-3

    “Mencintai sebuah Tanah Air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati…” – Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4

    Wujud paling nyata dari cinta anak negeri terhadap Tanah Airnya ini, bisa pembaca rasakan sendiri dari tindakan tokoh Ayah dalam roman Bukan Pasar Malam. Kiprah sang Ayah bermula saat beliau tengah menjabat sebagai pengawas sekolah angkatan Belanda. Kedekatannya dengan Belanda tak membuat sang Ayah berjarak dari bangsanya. Beliau justru turut serta memimpin pemenrintahan gerilya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan di tengah kesibukannya sebagai agen ganda, beliau tetap menyempatkan diri membuka kembali sekolah angkatan Belanda yang sempat mendapat kecaman dari penduduk setempat. Baginya, pembukaan sekolah ini, sekalipun atas ongkos pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga (bangsa Indonesia) yang mengecap hasilnya. (Hal 52)
    Kesetiaan sang Ayah akan tanah kelahirannya pun sempat mengalami ujian. Pasca kemerdekaan, beliau ditawari kesempatan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun beliau menolak mentah-mentah tawaran tersebut, lantaran sang Ayah menilai perwakilan rakyat hanyalah panggung sandiwara dan anggotanya tak lebih dari sekumpulan badut. “Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.” (Hal 65)
    Sang Ayah lebih memilih mencurahkan cintanya dalam kesahajaan hidup sebagai seorang guru. Beliau percaya bahwa profesi ini akan mampu membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme. (Hal  88)
    Kegetiran yang beliau alami saat menjadi guru, yang sekalipun dianggap Bapak oleh rakyat, tetapi nasibnya sangatlah mengecewakan (Hal 55), tak membuat aliran semangat terhadap pengabdiannya lantas surut. Selama tigapuluh tahun beliau mengayuh sepeda menempuh jarak limabelas hingga duapuluh kilometer untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang guru. Bahkan ketika TBC menyergap dan penghasilannya sebagai guru tak mampu merawat, apalagi menyembuhkan dirinya, sang Ayah tetap mengasihi negeri ini. Menjelang ajal menjemput, beliau sempat bertutur “Tapi aku rela jadi nasionalis. Tapi aku rela jadi kurban (kebobrokan negara) semua ini.” (Hal 88)
    Curahan kasih yang begitu bertubi-tubi ini dipaparkan oleh Almarhum Pramoedya dengan bahasa yang ringan melalui sudut pandang Aku, anak tertua sang Ayah, dalam suatu perjalanan mudik untuk menjenguk ayahanda yang tengah terbaring sakit.
    Kepekaan pancaindra penulis, yang kemudian disandingkan dengan kemampuannya membangun metafora dari apa yang telah ditangkap segenap indra dan pengetahuannya akan sejarah, mengajak pembaca untuk turut serta menyertai tokoh Aku dalam perjalanan yang sarat kenangan dan penyesalan ini lantaran sikap Aku terhadap Ayahanda sebelumnya.
    Saya mendapati punggung saya seketika berada pada posisi tegak seolah tengah duduk di kursi kereta ekonomi -- yang pada umumnya kaku, berbusa tipis dengan sandaran sembilanpuluh derajat. Sementara wajah saya bergerak mendekati jendela rumah ketika membaca awal paragraf bab kedua buku ini. Saat itu kaca jendela bagaikan layar pertunjukan yang tengah menayangkan setiap pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan Aku dan kegetiran yang tengah ia rasakan dalam perjalanan tersebut.
    “Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundakan tanah merah itu?” (Hal 12)
    “Kuhisap sebatang rokok. Dan dingin pagi serta dingin angin pun tiada terasa betul kini. Sawah yang tandus dan yang hampir masanya dipaneni silih berganti berkejar-kejaran. Dan di sawah-sawah itu dahulu, kadang kapal-kapal capung Belanda melempari petani dengan granat-tangan. Adakalanya juga capung itu mendarat di lapangan tandus dan mencuri kambing penduduk. Ya, semua itu teringat kembali kini. Dan di rumput-rumput itu pula sebagian dari kawan-kawan yang mempertahankan garis jalan keretaapi dulu menggelepak gugur, dan darahnya menyirami rumput yang menghijau selalu itu.” (Hal 13)
    Saya bisa merasakan kekosongan yang seketika singgah dalam rongga dada ketika membaca kedua paragraf tersebut dan hampir setiap paragraf dalam buku ini. Roman yang begitu tipis, namun begitu tajam dan menyayat hati. Karena pada akhirnya -- setelah tiga kali membaca buku ini -- yang saya dapati tak lain adalah kekerdilan dan pergumulan batin tentang sikap moral saya selama ini. Sikap moral seorang anak dan warga negara yang terlalu sibuk membangun masa depan, hingga lupa pada kedua orang tua yang tengah menua serta Tanah Air yang sesungguhnya masih belia dan butuh banyak uluran pengayoman. Saat mereka dianggap menghambat dam meresahkan diri, kata umpatan dan keluhan pun tanpa sangsi dilontarkan.
    Oleh karena itu, Bukan Pasar Malam sangat saya rekomendasikan bagi setiap sosok anak dan Warga Negara Indonesia: tua maupun muda, miskin ataupun kaya, tengah dilanda apatisme ataupun romansa, dan terutama bagi mereka yang sehat walafiat. Karena, seperti yang dipaparkan oleh Almarhum Pramoedya dalam buku yang sama, manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya (Hal 48).
    Dan apa yang telah kita semua perbuat dengan kebebasan yang tengah dalam genggaman ini: kepada orang tua yang telah membesarkan kita tanpa pamrih dan bagi negeri tempat kita lahir, tumbuh, dan mengais rezeki?

    SELAMAT MEMBACA!



    Biodata Pengulas: 
    Maria Widjaja | Pemilik blog practicelifeinfiction.wordpress.com | Bisa dihubungi melalui akun media sosial: vmwidjaja (twitter), vmwidjaja (instagram).


    Continue Reading
    Sumber: gramedia.com

    Judul: Laut Bercerita
    Penulis: Leila S. Chudori
    Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
    Jumlah Halaman: 379
    ISBN: 978-602- 424-694- 5

    Review

    Laut Bercerita mengajak pembaca untuk time traveling ke suatu masa di mana demokrasi hanyalah ilusi dan bersikap kritis kepada pemerintah akan merenggut nyawa. Jangankan mengkritik, membawa, membaca dan mendiskusikan buku yang beraliran kiri saja, yang dianggap mampu menumbuhkan semangat perlawanan terhadap rezim Orde Baru (seperti karya-karya Pak Pramoedya Almarhum), serasa menenteng bom bunuh diri. Siapa pun yang melakukannya dianggap pengkhianat bangsa dan harus dimusnahkan dari tanah Indonesia. Tanpa peradilan apalagi hak atas pengacara.

    Pada bagian pertama buku ini, pembaca diperkenalkan kepada Biru Laut, seorang mahasiswa 
    Sastra Inggris UGM, yang akhirnya mengalami dan merasakan secara langsung kekejian penguasa kepada mereka yang vokal terhadapnya.

    Adalah kepiawaian Mbak Leila dalam menceritakan dan mendeskripsikan suasana yang membuat pembaca seolah tengah bersama Biru Laut lembar demi lembar. Suasana kamar tempat saya membaca novel ini serasa meremang dan jantung saya berdegup lebih cepat ketika membaca perjalanan Laut bersama para mahasiswa, yang tergabung dalam Winatra dan Wirasena, ke Blangguan untuk mekakukan aksi tanam jagung bersama para petani yang tanahnya akan dirampas secara paksa oleh pemerintah.

    Sementara kecerkasan Mbak Leila dalam menuangkan kata dalam setiap kalimat mengajak kita turut serta merasakan gelora para aktivis untuk memperjuangkan keadilan.
    “Indonesia tak memerlukan AS, Laut. Cukup kelas menengah yang melek politik dan tak lelah menuntut. Untuk itu, kita harus melihat kekompakan perlawanan mahasiswa pada peristiwa Kwangju.” (hal 113)

    “Kita tak ingin selema-lamanya berada di bawah pemerintahan satu orang selama puluhan tahun, Laut. Hanya di negara diktatorial satu orang bisa memerintah bagitu lama… seluruh Indonesia dianggap milik keluarga dan kroninya. Mungkin kita hanya nyamuk-nyamuk pengganggu bagi mereka. Kerikil dalam sepatu mereka. Tapi aku tahu satu hal: kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas, dan putus asa agar mereka mau ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak menghargai kemanusiaan ini, Laut.” (Hal 182)

    “Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apapun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu…”(Hal 183)

    Namun demikan, beliau tak sungkan untuk mengingatkan di balik tembok idealisme yang tinggi dan api perlawanan yang melingkupi, Laut dan para aktivis lainnya adalah manusia muda yang pada suatu saat juga akan mengalami serangan asmara seperti rekan mahasiswa lainnya. Dan Mbak Leila melakukan ini dengan cara yang sangat efektif melalui humor yang disuguhkan saat mereka dalam perjalanan ke Blangguan.

    “Sudah terlalu lama ngana hanya saling memandang dan bertukar pikiran, nanti si Tama yang berhasil, ngana gigit jari.” (Hal 118)

    Ketidakberdayaan dan kekelaman yang berkecamuk dalam diri Laut dan setiap tokoh mahasiswa ketika disekap dan disiksa pun tak luput dari radar penceritaan Mbak Leila. After all.. they are human just like us, right? Kalimat-kalimat jitu dilontarkan Mbak Leila untuk memanusiakan tokoh yang identik dengan idealisme tinggi ini.

    (Setelah Laut mengalami berbagai siksaan dari pemukulan dengan penggaris besi, ditendang dan diinjak dengan sepatu lars, berbaring berjam-jam di atas balok es, merasakan sepasang semut rangrang merah menggerogoti dan menggerus kelopak dan bola mata, hingga diestrum.)

    “Pada titik yang luar biasa menyakitkan karena setrum itu terasa mencapai ujung saraf, aku sempat bertanya, apa yang sebetulnya kita kejar?” (Hal 182)

    “Aku hanya bertanya, seandainya kami dicambuk sampai mati pun, apakah akan ada gunanya?” (Hal 182)

    Dan saat arus emosi saling tumpang tindih pada penghujung bagian pertama novel ini, Mbak Leila tanpa ragu-ragu mengajak pembaca untuk terjun menyelami lautan emosi Asmara Jati, adik Biru Laut, yang harus menjadi yang paling rasional di tengah ketidakpastian serta penyangkalan ketika kakak yang disayangi tak pernah kembali dan kekasih yang kembali menjelma pribadi yang lain.

    “Dan yang paling berat bagi semua orang tua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orang tuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti ‘Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama’.” (Hal 245)

    “Pada titik itu, aku menyadari berapa berubahnya Alex setelah penculikan itu. Peristiwa ini bukan hanya sesuatu yang dialaminya, tetapi tampaknya itu akan mendefinisikan dirinya.” (Hal 267)

    Saat selesai membaca novel ini, saya seperti kembali ditarik ke masa kini secara paksa. Napas tersengal. Untuk beberapa saat saya seperti tertinggal dalam arus waktu yang terus melaju. Namun, jedah yang cukup singkat itu mampu memberikan saya kesempatan untuk memandang ulang tentang privilege yang saya, dan sebagian besar warga Negara Indonesia, nikmati pasca reformasi.

    Saat saya membaca dan mendiskusikan Tetralogi Pulau Buru tanpa rasa takut, saya sadar masih ada puluhan keluarga yang telah puluhan tahun menunggu berita tentang anak-anak mereka yang belum pulang demi memperjuangkan secercah rasa aman yang saya rasakan. Saat hampir terbawa emosi dengan panggung politik terkini dan ingin segera mengekspresikannya di lini waktu media sosial, saya sadar bahwa kebebasan yang akan saya salahgunakan telah diperoleh dengan harga yang lebih dari mahal: nyawa dan kemanusiaan mereka yang dihilangkan secara paksa dan tak mampu merasakan setitik pun hasil perjuangan mereka.

    Laut Bercerita sangat saya rekomendasikan bagi civilation jaman now. Sebuah peradaban yang lebih memilih membaca artikel online (yang kebenarannya masih abu-abu) ketimbang membaca Koran/e-Paper yang telah melalui sejumlah disiplin verifikasi.

    Baca novel ini, rasakan kekelaman, kenestapaan dan ketidakberdayaan yang dialami para tokoh ini demi memperjuangkan demokrasi dan kebebasan yang kerap disalahgunakan. Bacalah agar semua yang mereka rasakan melekat dalam benak sebelum mempercayai, menyebarkan apalagi menuliskan hoax.

    Profil Reviewer

    Nama: Maria Widjaja
    Twitter: vmwidjaja
    Instagram: vmwidjaja
    Blog: https://vmwidjaja.wordpress.com/
    Continue Reading


    Oleh: Dida Darnisha
    Twitter: @didarnisha

    Manik mata itu begitu pekat
    Tidak ada yang menodai tatapannya
    Ia akan selalu ceria bahkan saat terjatuh
    Ia yang memandang dunia begitu berseri
    Waktu seakan terlalu sedikit bersamanya
    Ia hanya belum menyadarinya

    Tawanya begitu hangat
    Rinduku padanya
    Inginku memeluknya lagi
    Sosok bocah lelaki berpipi gempal
    Ia...
    Musim semi singkatku
    Continue Reading
    Nama : Gischa Joelita Eka Putri
    Ig : gischa icha


    Satu kelopak berarti dua
    Riuh ucapan lebih hanya dari sekedar bercerita
    Pada yang berkedip seperti halnya sentuhan
    Antara yang hilang satu hal menggenapkan

    Batin saja tahu ia tergugah oleh harapan baru
    Hanya senyum, alasan mengerti dimana tempatnya berhenti
    Engkau Pria seperti pemburu
    Sementara aku hanya melihat bagaimana nantinya engkau kan berhenti
    Jawabkan semua yang sempat terjedah oleh do’a

    Berdiam dan terhibur saja oleh mu adalah satu waktu yang panjang
    Pria pergi dan datang menjelma pengganti
    Lantas wajah berseri bernaung cinta
    Jangan tanya! Cukup lirihkan pesan lisan mu

    Tak perlu aku tahu banyak
    Waktu saksi nyata bagaimana bahagia tercipta
    Continue Reading


    Oleh Neneng Lestari
    Twitter : @ntarienovrizal
    IG : @ntarie90


    “Hyeri, awas!” 

    Teriakan peringatan itu terlambat direspon oleh gadis itu. Sebuah bola basket mendarat di kepalanya dan mementalkan bola itu hingga ke sisi lapangan. Semua orang kini memandangi gadis yang bernama Hyeri tersebut. 

    Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian semua orang itu kini hanya berdiri tegak bagaikan patung dengan wajah yang sumringah. Kini bisik-bisik khawatir mulai berdengung di sekeliling Hyeri. Mereka mulai beprasangka bahwa otak Hyeri berguncang hebat akibat lemparan basket dari kapten basket ternama di sekolah itu, Lee Taekwon.

    Minah, gadis yang memperingatinya tadi, mengusir kerumunan itu dan menarik Hyeri dari pandangan mata itu. Minah kesal. Karena ia tidak melihat pandangan mata yang khawatir kepada sahabatnya, malah pandangan mata yang terkesan ingin tahu apakah Hyeri mendadak gila atau memang dia sengaja mencari perhatian. 

    Ia membawa Hyeri ke bawah pohon rindang di halaman sekolah. Hyeri duduk dengan patuh di bawah kerindangan pohon tersebut. Matanya beberapa kali dikerjapkan.

    “Kau tidak apa-apa?” 

    Hyeri mengangguk pelan. Tatapan matanya masih kosong memandang ke arah lapangan dimana para pemain basket itu mulai berebut bola, saling oper dan memasukannya dalam keranjang basket. Minah berdecak kesal. 

    “Minah...” panggil Hyeri pelan. Pelan sekali hingga Minah harus memastikan bahwa suara itu bukan suara makhluk halus yang memanggilnya. 

    “Aku jatuh cinta.” Ucapnya Hyeri. Kali ini ia tersipu malu dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

    “Aku tahu. Aku tahu. Seharusnya kau ku bawa ke ruang kesehatan. Kau mulai terdengar kacau.” Minah siap menarik Hyeri untuk berdiri. Tapi Hyeri menyentakan tangannya dan memaksa Minah duduk di sebelahnya. 

    “Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang jatuh cinta.”

    Minah mengerutkan dahinya. Temannya yang satu ini sudah sering merasakan jatuh cinta. Bahkan baru beberapa jam yang lalu ia menyatakan jatuh cinta pada tetangga Minah yang baru pindah dari Jepang. Dan sekarang ia jatuh cinta?

    Tapi Minah penasaran, siapa laki-laki yang kali ini mendapatkan perhatian dari seorang Hyeri. 

    “Kau jatuh cinta kepada siapa?” 

    Hyeri tersipu malu lagi. dengan geram Minah menyingkirkan kedua telapak tangan Hyeri dari wajahnya dan menanyakan pertanyaan yang sama. 

    “Aku jatuh cinta pada orang yang telah melemparku dengan bola.” 

    Hah? Minah terperangah. 

    Benar-benar keputusan yang salah membiarkan Hyeri tetap berada di bawah pohon ini. 

    Hyeri jatuh cinta pada Lee Taekwon? Kapten sekaligus atlet sekolah ini. Bukan hanya itu, ia sudah memiliki pacar yang sangat sempurna. Mereka pasangan perfect dan saling melengkapi. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka walaupun hanya sekejap. Seakan Tuhan sudah menjodohkan mereka harus bersama bahkan sebelum mereka sampai ke dunia. 

    Dan Hyeri jatuh cinta kepada Lee Taekwon? 

    Gadis norak dengan kebiasaan yang super norak. Itulah Hyeri. 

    ***

    Wajah Hyeri berseri-seri sekali. ia duduk di kursi miliknya sambil mengoyang-goyangkan kakinya ke depan dan kebelakang. sekali-kali pena yang ia gunakan untuk menulis ia ketuk-ketuk ringan di bibirnya. 

    “Sedang apa kau?” 

    “Menulis surat cinta.” Ucap Hyeri sumringah. 

    Minah tidak terlalu peduli awalnya. Karena Hyeri sering menulis surat cinta untuk orang yang ia sukai dan membiarkan surat itu menumpuk menghiasi dasar lemari pakaiannya. 

    “Baguslah kalau begitu. Setidaknya kau sudah melupakan kisah cintamu yang kemarin.” Minah menyindir. 

    Hyeri merapatkan barisan alisnya menjadi satu, “Kau salah. Aku menulis surat ini untuk Taekwon dan berencana akan memberikannya.” 

    Gubrak!

    Suara pantat Minah yang disambut oleh kerasnya lantai keramik sekolah membuat seisi kelas tertawa melihatnya. 

    “Kau bercanda?” Minah belum bisa mengatasi rasa kagetnya. 

    “Tidak. Aku serius.” 

    “Tidak. Kau tidak boleh serius. Kau bisa dihancurkan fans club Taekwon dan kekasihnya.” 

    “Aku tidak peduli.” 

    “Kau harus peduli.” 

    Hyeri tidak menyahut. Ia sedang asik mengelem bagian tutup amplop hingga tertutup sempurna. 

    Lalu dari dalam tas kecil yang selalu ia gunakan untuk membawa bekal, ia mengeluarkan sebuah buku harian bewarna biru muda dengan gambar bola basket di sampulnya. Buku harian yang rahasianya tidak ada satupun yang tidak Minah ketahui. 

    Hyeri membuka lembar demi lembar harian itu, dan berhenti di salah satu halaman yang kosong. ia mengeluarkan bungkus permen karet dari dalam kantong baju seragam sekolahnya. 

    Tindakan itu menarik perhatian Minah lebih jauh. Ia menjulurkan kepalanya dan melihat tangan telaten Hyeri menempelkan double-tip di belakang bungkus permen itu dan menempelkannya di halaman harian yang kosong itu. Di bawah bungkus permen itu Hyeri menuliskan kalimat pendek yang menjelaskan kegilaan Hyeri yang tidak wajar. 

    28/01/2015 

    Bungkusan permen karet yang dimakan oleh Lee Taekwon di lapangan bola basket saat latihan. 

    Minah menepuk jidatnya dengan keras. 

    Hyeri mulai lagi dengan kebiasannya. Kebiasaan mengumpulkan benda-benda yang berhubungan dengan orang yang ia sukai. 

    ***

    Beberapa hari belakangan ini Hyeri terlihat bahagia, wajahnya bersinar dan senyumnya memancarkan kehangatan bagi Minah. Bagaimana tidak, sahabat kecilnya itu selalu berhasil membuat perasaan Minah tidak menentu dengan sifat tidak terduga Hyeri. 

    Tapi Minah tidak terlalu suka alasan kenapa wajah Hyeri berseri-seri seperti itu. Karena itu wajah yang menandakan ia sedang jatuh cinta. 

    “Ke kantin yuk.” Ajak Hyeri. Minah tanpa ragu menyanggupi, karena ia sudah menahan lapar dari tadi. 

    Sesampainya di kantin, Minah mengajak untuk bergabung dengan Sujin dan Hyo di sebelah sana. Tapi Hyeri menolak dan mengajak ke arah yang sebaliknya, yang di patuhi oleh Minah. 

    “Kau pesankan makanannya, samakan saja dengan punyamu.” Pesan Hyeri. Minah pun berlalu begitu saja. 

    Sekembalinya ia ke tempat duduk, betapa kagetnya ia melihat tumpukan sachet saos kosong di meja mereka. 

    “Jorok sekali. Buang sana.” Tangan Minah sudah bergerak untuk mengutip sachet kosong tersebut. 

    “eh jangan. Sembarangan saja. Ini beharga tau.” 

    “Beharga bagaimana? Kau bisa menemukan sachet kosong ini di tempat sampah rumahku. Banyak sekali disana, kau bisa mengutipnya kalau kau mau.” Minah mendadak sinis. 

    Hyeri diam saja. ia sibuk merapikan sachet saos kosong itu dengan jemarinya. Ia membersihkan sacher tersebut hingga bersih mengkilat. 

    Minah memandang jengah kepadanya. Lalu ia mengalihkan matanya ke arah depan dimana ada seorang laki-laki duduk membelakangi mereka. Minah tidak bisa tidak mengalihkan matanya, ia memandangi sosok tersebut dan akhirnya ia mengetahui sosok tersebut saat berpaling kepada tong sampah yang berada di dekatnya. Ia memperhatikan tumpukan sachet saos kosong di bawah kakinya. 

    Mulut Minah tidak bisa berhenti menganga saat ia menyusun fakta di depannya. 

    Hyeri telah mengumpulkan sachet kosong bekas milik Taekwon dan siap-siap sachet saos kosong itu akan mengisi buku hariannya. 

    Eiyyuh, menjijikan, pikir Minah

    ***

    Hyeri berbohong kepada Minah. Ia tidak tahan harus selalu melihat wajah kusut Minah saat menjalankan aksinya sebagai penggemar Taekwon. Ia tidak bisa menjelaskan bahwa rasa sukanya pada Taekwon adalah murni perasaan seorang gadis kepada seorang pria. 

    Cinta yang begitu sederhana, tidak perlu sebuah balasan tapi cukup kekaguman yang akan membawa kebahagian. Itulah arti cinta bagi Hyeri. Meski terkadang ia sedikit berbeda dengan gadis pada umumnya, tapi ia tetap memiliki jiwa yang sama seperti gadis manapun di muka bumi ini. 

    Kali ini Hyeri sudah siap dengan raket di tangan. Ia mengikuti Taekwon yang akan bermain bola tenis dengan kekasihnya. Rutinitas mingguan anak-anak kaya di sekolahnya. Karena ia bukan termasuk anak-anak kaya, dan tujuan awalnya memang bukan bermain bola tenis, maka ia duduk di bangku kayu di tepi lapangan 

    Ia menunggu. 

    Menunggu saat yang tepat untuk mengoleksi salah satu milik Taekwon. Lebih tepat bekas Taekwo. 

    Dan saat itu pun muncul. 

    Taekwon selesai di ronde kedua. Jelas permainan tenis bukanlah keahliannya karena ia sangat basah oleh keringat dan... euhm seksi. 

    “Kau Hyeri kan?” suara desah lelah Taekwon begitu mendominasi saat ini. Hyeri hanya mengangguk. Merasa tersipu karena Taekwon tahu namanya. 

    “Maaf yang kemarin.”

    “Tidak apa. Aku juga salah melamun di sisi lapangan saat kalian para cowok berebut bola oranye aneh itu.” 

    Taekwon tertawa terbahak-bahak, “Bola oranye aneh? Itu adalah sebutan baru untuk olahraga yang aku senangi.” 

    “Aku harap kau tidak tersinggung.” 

    “Mana mungkin aku tersinggung. Itu lelucon pertama yang aku dengar hari ini. sungguh lega rasanya bisa tertawa seperti ini.” Taekwon merain minuman dari dalam tas olahraga miliknya. Tempat minum itu berbentuk tabung transparan. Hyeri bisa melihat bongkahan es batu kecil mengapung di permukaannya. 

    “Kau mau minum?”

    “Bolehkah?” Tanya Hyeri, padahal ini memang kesempatan yang ingin ia ambil. 

    Taekwon mengangguk. Menyerahkan minuman itu dan disambut dengan baik oleh gadis tersebut. Hyeri memperhatikan sedotan yang baru saja di pakai oleh Taekwon, masih bertengger di dalam botol tersebut. 

    “Ini..” Hyeri menyerahkan botol minuman itu. 

    “kau tidak ingin bermain?”

    “Tidak. Tiba-tiba aku mendapat telepon dari ibuku. Aku harus pulang.”

    “Oh sayang sekali. lain kali kau harus sempat bermain satu ronde bersamaku.”

    “Pasti. Aku harus pergi. Sampai jumpa di sekolah.”

    “Sampai jumpa Hyeri.” 

    Sepeninggalkan Hyeri, Taekwon meraih botol minum dan meraba sesuatu di mulut botol. 

    “Lho kemana sedotannya?” 

    ***

    Makin hari rasa kagum Hyeri kepada Taekwon makin besar. Ia pria yang baik dan ternyata ramah sekali. semenjak pertemuan di lapangan tenis, ia selalu menyapa Hyeri bila berpapasan. Ia tidak canggung meski ada kekasihnya di sebelahnya. Dan Hyeri rasa pun kekasihnya tidak perlu khawatir, karena jelas Hyeri bukan saingan gadis itu.

    Minah yang melihat wajah Hyeri yang selalu saja berseri, menjadi khawatir. Ia khawatir seandainya rasa cinta Hyeri itu membuatnya sakit hati dan terluka. Walaupun sampai saat ini, Hyeri tidak menunjukan gejala bahwa ia ingin menjadi kekasih, yang ia inginkan adalah merasakan cinta seorang gadis dalam dirinya. 

    Betapa polosnya pikiran Hyeri. 

    “Kau sedang apa?” 

    “Menulis surat cinta.”

    Kening Minah berkerut, ia benar-benar khawatir saat ini. 

    “Surat untuk siapa?”

    “Taekwon.” 

    “Siapa?” Minah mengulang. 

    “Aih Minah, kau tuli ya. Taekwon. Cowok yang selalu memenuhi pikiranku selama ini.”

    “Tapi... tapi bukankah kau bilang kau tidak mengharapkan balasan cinta darinya.”

    “Memang.” 

    “Lalu surat ini?” 

    “ckckck.. “ Hyeri menggeleng kepalanya tidak habis pikir, “Minah, memendam cinta itu memang bagus, tapi ada kalanya kau harus mengeluarkannya dan membiarkan orang tersebut tahu.”

    “Lalu kalau dia tahu, apa gunanya bagimu?” 

    “Dengan begitu dia tahu, bahwa ada seseorang disekitarnya yang mempedulikannya tanpa mengharapkan balasan dari kepedulian itu.” 

    “kau sungguh naif.” 

    “Itu menurutmu.” Hyeri menjilati bagian amplop dan menutupnya. “Sekarang tugasmu─” 

    “Tugasku? Apa maksudmu tugasku?”

    “Makanya dengarkan aku dulu. Tugasmu adalah menemani aku menyerahkan surat ini kepada Taekwon hari ini.”

    “Aku tidak mau.”

    “Kau harus mau.”

    “Kalau tidak mau, kau mau apa?”

    “Berarti segitu aja arti pertemanan bagimu.” 

    Hyeri meletakan amplop itu di dalam hariannya yang sudah penuh dengan barang bekas milik Taekwon. Terakhir Minah lihat harian itu hanya berisi bungkus permen dan sachet saos kosong. Sekarang harian itu di penuhi oleh berbagai macam benda aneh. Mulai dari tali sepatu yang putus, sampai potongan tiket menoton film. 

    “Kau mengumpulkan itu seorang diri?”

    “Iya. Memangnya kalau aku mengajak dirimu, kau akan ikut?” 

    Minah terdiam. 

    “Setelah kau menyerahkan surat ini, apa yang akan kau lakukan?” 

    “Aku akan hidup tenang dengan diam-diam mencintainya seperti selama ini.” 

    Minah kembali terdiam. Melihat raut wajah Hyeri yang begitu polos dan senyum yang selalu menghiasi bibir kecilnya. 

    “Baiklah.” 

    “Baiklah apa?” 

    “Aku akan menemanimu.” 

    Hyeri tersenyum bahagia. Tidak sungkan ia memeluk Minah dengan kencang di dalam kelas. 

    “Jangan senang dulu. Aku hanya ingin kau memiliki tempat sandaran ketika kau jatuh.”

    “Tenang saja, Hyeri tidak akan mudah jatuh semudah itu.” 

    ***

    “Aduh, kenapa kau pula yang deg deg kan?” Hyeri mengomel kepada Minah. Ia merasakan tangan Minah sedingin es. 

    Mereka bersembunyi di belakang tembok, ke arah kelas Taekwon yang masih ada beberapa siswa dan siswi.

    “Lebih cepat kau serahkan, lebih baik.”

    “Tunggu, ia sedang bicara dengan seseorang di depan pintu.”

    “Siapa?” 

    “Aku tidak tahu. Pandanganku terhalang oleh pintu kelas yang terbuka.” 

    “ah, ia sudah sendiri.” Pekik Hyeri.

    Minah mendorong punggung Hyeri. Sambil memberikan semangat kepada Hyeri dari belakang. 

    Hyeri menarik nafas panjang, Minah memperhatikan betapa kakunya tubuh Hyeri dari belakang. Hyeri merasakan ketegangan yang sama dengan dirinya,mungkin lebih tegang Hyeri daripada dirinya, karena Hyeri-lah yang harus menyerahkan sendiri surat itu. 

    Minah mengintip lebih dekat. Ia melihat Hyeri sudah hampir beberapa langkah dari Taekwon ketika pria itu mencium kekasihnya tepat di depan kelas. Minah mengumpat dalam hati, saat melihat ciuman itu. 

    Dasar tidak tahu malu! Mentang-mentang jam sekolah sudah berakhir, seenaknya saja mereka bermesraan di tempat seperti ini. 

    Adegan ciuman itu mendapat siulan ringan dari seorang laki-laki yang muncul dari kelas Taekwon. Minah tidak mengenalnya. Tapi berkat siulan itu, ciuman mereka berhenti. 

    Minah kini khawatir bagaimana keadaan Hyeri yang melihat adegan tersebut. Ia berdiri tegak tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Saat Taekwon mengangkat tangannya untuk menyapa Hyeri, gadis itu berbalik dan berlari sekencang mungkin. 

    Minah melihat tubuh Hyeri berguncang hebat. 

    Sial!! Seharusnya aku tidak membiarkan ini terjadi. 

    ***

    Keesokan harinya, Minah menunggu dengan gelisah kedatangan Hyeri. Akhirnya kepala gadis itu terlihat dari jendela. Minah buru-buru menghampiri Hyeri. 

    “kau tidak apa-apa?”

    Hyeri menggeleng, kepalanya masih tertunduk. 

    “Aku tahu kau kecewa. Seharusnya aku lebih keras memperingatimu.” 

    Hyeri diam saja. Ia memeluk tasnya dan mengeluarkan harian yang selalu menjadi saksi cinta diam-diam Hyeri kepada Taekwon. 

    “Bicaralah Hyeri. Jangan membuat aku khawatir.” 

    Hyeri mengangkat kepalanya, dan aneh sekali. 

    Wajah Hyeri begitu sumringah seperti pertama kali ia jatuh cinta kepada Taekwon. 

    “kau tidak sedih?”

    “Tidak”

    “Terus kenapa kemarin kau lari?”

    Wajah Hyeri memerah, “Itu karena aku malu.” 

    Minah makin tidak mengerti. “Maksudmu ciuman Taekwon membuatmu malu?”

    Hyeri meggeleng. 

    “Lalu?” Minah kesal tapi sekaligus penasaran. 

    “Aku jatuh cinta.” 

    “Aku tidak mengerti. Aku tahu kau jatuh cinta kepada Taekwon.”

    “Bukan. Bukan. Aku tidak lagi mencintainya.”

    “Lalu?”

    “Lihatkah kau laki-laki yang menggoda Taekwon saat ia sedang berciuman?” 

    Minah mengangguk. 

    “Aku jatuh cinta kepadanya.” Hyeri bersorak kegirangan. 

    Seharusnya Minah tidak perlu khawatir dengan penyakit “jatuh cinta” Hyeri. Ia bisa jatuh cinta berkali-kali tanpa mengalami rasa sakit. Sebenarnya ia iri, karena ia terlalu takut mencintai karena resiko patah hati. 

    Minah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia begitu bodoh mengkhawatirkan Hyeri sepanjang malam, ternyata ia mengkhawatirkan seseorang yang sedang jatuh cinta. 

    Tapi ia tersenyum melihat Hyeri begitu bahagia. 

    “Itu buku harian baru?” Minah menunjuk buku harian yang masih di sampul plastik. 

    “iya, aku membelinya saat perjalanan ke sekolah. Lihat, cover ini. aku memilih London karena laki-laki itu pindahan dari London.” Hyeri menunjukan gambar jam yang menjadi lambang negara kerajaan tersebut. 

    Minah tidak habis pikir. Sekali lagi tidak habis pikir. 

    Hyeri mengeluarkan kertas ulangan yang bertuliskan nama Daniel Wu. Dan menempelkannya di lembar pertama harian barunya. 

    Kali ini Minah tidak protes dan bertanya bagaimana Hyeri mendapatkannya. Melihat Hyeri kesusahan saat melepaskan lem yang lengket di tangannya, Minah berkata “Kau butuh bantuan?”

    Betapa bahagianya Hyeri, saat Minah tidak memarahi lagi hobi anehnya. Wajahnya berlipat-lipat lebih ceria dan berseri sepanjang hari. Rasanya Hyeri tidak akan berhenti tersenyum hari ini. 

    Bagaimana tidak, perasaan bahagia yang ia dapatkan ketika mencintai seorang laki-laki kini mendapat dukungan dari sahabatnya. 

    Ia tidak pernah takut untuk mencintai, karena ia yakin bahwa akan ada orang yang menopangnya saat ia jatuh nanti. 

    Dan Minah adalah orangnya. 
    Continue Reading
    Older
    Stories

    Created with by BeautyTemplates and Infinyteam | Edited by @readarnisha

    Back to top